Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis ) adalah penyakit hewan yang bersifat menular dan mengganggu sistem reproduksi ternak. Terganggunya sistem reproduksi ternak akibat infeksi penyakit menular sangat merugikan karena dapat mengakibatkan keguguran, penurunan fertilitas, bahkan kemajiran ternak. IBR merupakan penyakit yang sangat infeksius disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1). Gejala klinis akibat penyakit ini seperti infeksi pustular vulvovaginithis pada sapi betina atau balanoposthitis pada sapi jantan, konjungtivitis, ensefalitis dan gejala sistemik lainnya seperti demam dan kelesuan (STRAUB, 1990). Infeksi pada sapi betina dewasa dapat menyebabkan penurunan produksi susu, menurunnya tingkat fertilitas, dan keguguran (MILLER et al., 1991)
Gejala klinis
Berdasarkan
gejala klinisnya, agen penyebab penyakit IBR yaitu virus BHV-1, terbagi menjadi
2 subtipe, yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1 subtipe 1 berhubungan
dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, sedangkan subtype 2
adalah galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti Infectious
Pustular Vulvovaginalis (IPV) dan Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB)
(RADOSTIT et al., 2000).
a. Gangguan pernapasan
IBR merupakan
penyakit pernapasan pada sapi yang secara signifikan merugikan, khususnya bagi
usaha perbibitan ternak sapi. Virus masuk ke dalam saluran pernapasan umumnya
melalui udara (mengandung partikel air) yang mengandung virus IBR berasal dari
hewan penderita. Utamanya, infeksi terjadi pada saluran pernapasan bagian atas,
tetapi kadangkadang juga terjadi pada bagian bawah paru-paru. Setelah
berinkubasi selama 2 – 3 hari, ternak akan demam yang diikuti dengan
peningkatan frekuensi pernapasan, anoreksia, penurunan produksi susu (pada sapi
perah), serta menjadi kurus. Dalam jangka waktu satu atau dua hari, terbentuk
leleran hidung encer dan hidung tampak kemerahan (GIBBS dan RWEYEMAMU, 1977).
Pada tahap berikutnya, leleran hidung yang encer menjadi mukopurulen. Tahap
akut ini terjadi sekitar 5 – 10 hari setelah ternak sembuh dari demam. Kejadian
klinis yang berat tergantung kepada jenis galur virus yang menginfeksi, status
imunologik hewan, keadaan lingkungan, infeksi sekunder dan umur hewan.
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan sindrom pernapasan kompleks yang
disebut sebagai “demam pengapalan” (shipping fever). Sindrom ini merupakan ciri
khas infeksi BHV-1 yang diikuti dengan infeksi sekunder (biasanya bakteri
Pasteurella haemolytica) yang mungkin dapat berpotensi menghasilkan pneumonia
yang fatal (BABIUK et al., 1988). Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada
pedetdan menyebabkan penyakit pernapasan yang ganas atau penyakit sistemik yang
fatal dan cepat menimbulkan kematian. Infeksi IBR pada sapi yang baru lahir
mungkin disebabkan oleh kekurangan antibody maternal dan komplikasi dengan
faktor manajemen (MECHOR et al., 1987). Bila gejala klinis pernapasan pada sapi
bunting terus berlanjut, sudah dapat dipastikan sekitar 25% ternak bunting akan
mengalami keguguran. Lamanya masa inkubasi pada sapi bunting terjadi keguguran
antara 3 – 6 minggu dan paling sering terjadi pada usia kebuntingan 5 dan 8
bulan (MUYLKENS et al., 2007).
b. Gangguan
reproduksi
IPV merupakan infeksi vagina dan vulva yang ditandai dengan ekor tidak kembali ke posisi biasa. Kemudian timbul pustula (berdiameter 1 – 2 mm) yang menyebar melalui permukaan mukosa dan kadangkadang disertai oleh leleran mukopurulen. Pustula yang lama, pecah meninggalkan bercak berwarna merah muda yang mengikis lokasi infeksi. Pada IPV, leleran hidung tidak tampak jelas. Penyakit pada tahap akut terjadi antara 2 – 4 hari, dan lesi hilang dengan sendirinya setelah 10 – 14 hari dari saat terjadinya penyakit. Jika infeksi sistemik terjadi pada sapi bunting, maka akan terjadi keguguran (MUYLKENS etal., 2007). Pada ternak jantan, penyakit IPB berkembang setelah masa inkubasi 1 – 3 hari yang ditandai dengan lesi pustula yang menyebar pada penis, timbulnya eksudat kecil dan demam. Infeksi pada pejantan dapat menularkan IPB ke sapi lain walaupun tidak terdapat adanya lesi (MUYLKENS et al., 2007). Hal inilah yang menjadi alasan bahwa pejantan pada pusat inseminasi buatan (IB) harus memiliki seronegatif terhadap BHV-1.
c. Gangguan
syaraf (ensefalitis)
Meskipun BHV-1 dapat menyebabkan gangguan pada organ syaraf, ensefalitis jarang sekali terjadi pada sapi. Ensefalitis diperkirakan terjadi sebagai suatuproses lanjutan yang berhubungan dengan pernapasanakut atau pengaktifan kembali virus laten dari gangliatrigeminal dan cenderung mendekati penyebarannya kepusat otak. Berbagai gejala klinis yang dapatditimbulkan setelah terjadinya infeksi olehalphahervesvirus yaitu terjadinya gangguan syaraf dan mengakibatkan infeksi laten yang menetap pada sistemsyaraf tepi inang (PRESTON, 2000). Gejala klinis syaraf ditandai dengan tidak terkoordinasi, berputar-putar,otot gemetar, berbaring, kehilangan keseimbangan, kebutaan, selalu menjilat panggul dan akhirnya mati(ENQUIST et al., 2002). Kasus sporadis BHV-1 yang berhubungan dengan ensefalitis sudah umum terjadi diAustralia dan Argentina. Galur BHV-1 yang menunjukkan neuropatogenik yang berpotensi mewakili bvarian antigenik dan dikelompokkan sebagai BHV-5. Gejala klinis lain yang berkaitan dengan BHV-1termasuk kekeruhan pada kornea mata, mastitis, enteritis, dan dermatitis (WYLER et al., 1989).
Cara penularan
a. Melalui
saluran pernafasan
Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat mudah dari satu ternak ke ternak lain atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Hal ini disebabkan virus shedding dalam jumlah yang sangat banyak pada saluran pernapasan, mata, dan saluran reproduksi sapi yang terinfeksi. Virus dapat menyebar melalui sekresi hidung atau percikan yang mengandung virus (MARS et al., 2000). Dikarenakan mekanisme penyebaran virus yang demikian, maka kontak langsung antar hewan merupakan risiko transmisi yang sangat tinggi. Pada penggemukan sapi yang penuh sesak, dan bercampurnya ternak satu dengan yang lain mengakibatkan penyebaran virus akan lebih efektif (VAN DONKERSGOED dan BABIUK, 1991).
b. Melalui
semen
Pada hewan
jantan yang memperlihatkan balanopostitis atau pada kondisi laten (virus
terdedah tanpa ada gejala klinis), maka semen menjadi sumber penularan virus
yang sangat potensial. Virus IBR dapat menyebar melalui kawin alam atau kawin
buatan melalui IB (WYLER et al., 1989). Penularan penyakit melalui semen sapi
pejantan terjadi sebagai berikut, yaitu sapi pejantan akan mulai terinfeksi
BHV-1 pada preputium antara 2 dan 7 hari setelah infeksi pertama. Setelah
infeksi pertama, virus seringkali sulit untuk diisolasi (HUCK et al., 1971).
Namun, sekali-sekali (intermitten) secara spontan dan seringkali terjadi virus
shedding. Infeksi laten pada sapi akan mengakibatkan pengeluaran kembali virus
apabila ternak tersebut mengalami cekaman, seperti saat transportasi, atau
diberi perlakuan kortikosteroid (misalnya: dexamethazone). Dengan cara spontan
atau perlakuan buatan akan memicu virus shedding dan seringkali tidak
menunjukkan klinis dan virus tersebut dapat terdeteksi untuk waktu yang lama,
bahkan dapat mencapai satu tahun setelah infeksi pertama MUYLKENS et al., 2007).
Pada umumnya,
BHV-1 diekskresikan lebih banyak konsentrasinya pada tahap infeksi pertama dari
pada infeksi kedua atau berikutnya yang hanya bersifat putus-sambung. Titer
antara 105 – 108,5 Tissue Culture Infective Dose (TCID50) per ml dari bilasan
preputium atau semen telah terdeteksi selama fase akut pada kasus infeksi alami
maupun buatan (SPILKI et al., 2004). Selama masa pengeluaran kembali virus baik
secara spontan maupun melalui rangsangan alami atau perlakuan dengan rangsangan
buatan, titer virus sangat bervariasi yaitu titer virus antara 101 dan 105,2
TCID50 per ml asal bilasan praeputium atau semen telah pula dilaporkan (MEDINA
et al., 2009). Akan tetapi virus tidak terdeteksi lagi setelah 14 pasca infeksi
(SPILKI et al., 2004). Dosis yang diperlukan untuk menginfeksi sapi setelah
inokulasi intra-nasal atau intra-vagina dengan menggunakan BHV-1 galur lapang
yaitu 3,2 TCID50 (VAN OIRSCHOT, 1995). Virus IBR dalam semen beku (extended
semen) yang disimpan pada suhu 4°C akan tahan selama 7 hari, sementara bila
semen tersebut disimpan pada suhu ruang akan tahan selama 5 hari. Selanjutnya,
DREW et al. (1987) juga melaporkan bahwa virus IBR dalam semen beku tidak akan
kehilangan sifat infektivitas setelah dilakukan 5 kali proses pembeku-cairan
(freezing-thawing). Penerapan IB yang menggunakan semen terinfeksi BHV-1 akan
menyebabkan penurunan angka kelahiran, memperpendek siklus estrus, dan memicu
endometritis (VAN ENGELENBURG et al., 1995).
DIAGNOSIS PENYAKIT IBR
Diagnosis penyakit IBR dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan isolasi dan identifikasi virus dari sampel, uji serologi, pemeriksaan immunoassay, serta pendeteksian genetik material melalui teknik molekuler biologi.
a. Isolasi
virus
Bovine herpesvirus-1 seringkali ditemukan pada mukosa hidung, mata dan preputium pada kasus balanopostitis. Pada kasus balanopostitis, semen BHV-1 selama proses ejakulasi. Hal ini terjadi karena pada sapi yang terinfeksi BHV-1, maka virus akan bereplikasi pada bagian mukosa preputium sapi tersebut. Teknik yang sering digunakan di laboratorium untuk mendiagnosis atau mendeteksi antigen BHV-1 diantaranya yaitu dengan isolasi virus yang ada dalam sampel mukosa hidung, mata atau semen pada kultur sel (DEKA et al., 2005). Sel kultur yang sering digunakan adalah sel MDBK atau sel lain yang rentan terhadap BHV-1. Keberadaan BHV-1 pada kultur sel ditandai dengan efek sitofatik (Cytopathic effect = CPE), virusnya kemudian diidentifikasi/ dikonfirmasikan dengan menggunakan immunofluorescence (KEUSER et al., 2004) atau dengan uji virus neutralisasi (VN) (LEMAIRE et al., 2000). Selanjutnya elektron mikroskop digunakan untuk mendeteksi virus secara morfologi.
b. Uji
serologi
Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus IBR dalam darah/serum hewan. Uji serologi meliputi uji netralisasi serum dan ELISA. Pada uji netralisasi serum, uji ini menggunakan media kultur sel dimana reaksi netralisasi antibodi oleh virus IBR dapat diketahui, yaitu pada sel tidak terjadi efek sitofatik (OIE, 2008). Sementara uji ELISA menggunakan reaksi enzimatik dengan indicator perubahan warna substrat (OIE, 2008). Bila hewan mengandung antibodi terhadap virus IBR sementara hewan tidak pernah divaksin, maka dapat disimpulkan bahwa hewan tersebut telah terinfeksi oleh virus IBR. Namun bila hewan pernah divaksinasi, maka uji ini dapat membedakan antibodi akibat vaksin atau infeksi alam.
c. Teknik
immunoassay
Teknik
immunofluorescence telah digunakan untuk mendeteksi BHV-1 dalam sediaan usapan
mukosa nasal, bilasan preputium, paru, dan trachea (SILIM dan ELAZHARY, 1983).
Kelebihan teknik ini yaitu dapat mendeteksi BHV-1 dengan cepat. Kemudian,
teknik imuno elektron mikroskop seringkali digunakan dan merupakan metode yang
cepat, akan tetapi diperlukan konsentrasi virus yang tinggi. Sementara, ELISA
dengan menggunakan antibody monoklonal telah banyak digunakan untuk mendeteksi
BHV-1 (SPILKI et al., 2005; OKAZAKI et al., 2006).
Selanjutnya, SMITS et al. (2000) telah membandingkan beberapa metode hibridisasi dengan imuno-elektron mikroskop dan berbagai jenis kultur sel. Hasilnya menunjukkan bahwa isolasi virus ternyata paling sensitif bila dibandingkan dengan metode di atas yaitu dapat mendeteksi 5 TCID50 virus pada semen.
d. Teknik
molekuler biologi
Akhir-akhir
ini, diagnostik virologi telah mengalami kemajuan pesat dengan dikembangkan
teknik asam nukleat untuk mendeteksi keberadaan virus dalam sampel yang berasal
dari hewan, baik yang menunjukkan klinis maupun normal. Hibridisasi asam
nukleat dan reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction = PCR) telah
dikembangkan sebagai perangkat uji yang sangat ideal dan handal untuk
mendeteksi BHV-1 pada sampel karena uji tersebut sangat cepat, sensitif dan
spesifik. Teknik PCR telah digunakan untuk mendeteksi secara langsung BHV-1
pada sampel klinis. Pendeteksian DNA BHV-1 gB, gC, dilaporkan (ROLLA et al.,
2003; 2005; AFONSO et al., 007; LATA, 2009; MEDINA et al., 2009; MOORE et al.,
2000). Pengembangan teknik PCR untuk mendeteksi BHV-1 pertama kali
diperkenalkan oleh VILCEK (1993) dengan menggunakan primer berasal dari gen
yang menggunakan gB BHV-1. Sementara itu, nested PCR untuk mendeteksi BHV-1
dalam sampel semen cair dan semen beku yang menggunakan target gen gD pertama
kali diperkenalkan oleh WIEDMANN et al. (1993), kemudian nested PCR lainnya
dikembangkan oleh ROLLA et al. (2003).
STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT IBR
Berdasarkan
informasi dan bukti yang ada, termasuk sifat penyakit dan perkembangan situasi
penyakit IBR di Indonesia, maka secara hipotetik strategi pengendalian penyakit
IBR pada ternak sapi di Indonesia disarankan untuk dilakukan secara bertahap
dan dimulai dari hulu (sumber bibit/benih) yang kemudian sampai ke hilir
(peternakan rakyat) serta dengan beberapa prasyarat sebagai berikut:
1. Untuk
pengendalian penyakit diperlukan perangkat pendukung, berupa teknik diagnosis
(deteksi virus, deteksi antibodi) yang telah dikuasai oleh laboratorium
veteriner.
2. Tersedia
vaksin IBR tidak aktif dalam jumlah yang cukup sebagai pencegah infeksi pada
populasi yang dinamis dan sulit dikendalikan melalui tindakan biosekuriti.
3. Tersedia
perangkat lunak berupa peraturan/kebijakan dan petunjuk operasional
pengendalian penyakit yang jelas, tegas, aplikatif di lapangan, serta para
peternak telah menerima informasi yang cukup tentang penyakit IBR.
4. Tersedia
dana yang cukup untuk pelaksanaan program pengendalian penyakit.
5. Strategi pengendalian penyakit dilakukan dari hulu ke hilir secara tuntas dan bertahap sesuai kemampuan pendanaan.
Strategi
pelaksanaan pengendalian penyakit IBR dilakukan dengan tahapan prioritas
sebagai berikut:
1. Prioritas
pertama adalah pembebasan penyakit IBR pada sapi di pusat-pusat perbibitan dan
inseminasi buatan (IB).
Upaya yang
dilakukan adalah menerapkan persyaratan bahwa seluruh ternak yang ada di lokasi
tersebut harus bebas dari penyakit IBR. Ternak bibit tidak divaksinasi untuk
memudahkan pemantauan bila ternak kemudian berubah menjadi reaktor. Penerapan
surveilans serologis/pendeteksian agen yang ketat untuk mengetahui sedini
mungkin terhadap adanya hewan menjadi reaktor. Hewan yang dinyatakan sebagai
maka hewan dikeluarkan dari kawasan dan tidak digunakan lagi sebagai
bibit/sumber benih. Penerapan biosekuriti peternakan yang ketat mutlak dilaksanakan
terhadap calon sapi bibit yang akan memasuki kawasan. Hanya ternak yang bebas
IBR yang diperbolehkan memasuki kawasan dan kemudian menjadi bibit/sumber
benih. Biosekuriti juga diterapkan bagi petugas pengelola hewan yang dan yang
akan masuk kawasan melalui desinfeksi, penggunaan pakaian kandang, kebersihan
diri, dll. Biosekurit juga diterapkan untuk pakan hijauan. Sumber hijauan pakan
tidak berasal dari padang rumput dimana digembalakan ternak sapi/kerbau.
Biosekuriti termasuk mencegah kontak ternak rakyat dengan kawasan dan ternak di
dalamnya. Dengan demikian, lokasi kawasan telah didesain memiliki jarak yang
cukup jauh dengan peternakan rakyat.
2. Prioritas
kedua adalah pembebasan penyakit IBR
Pada sapi bibit di peternakan rakyat/VBC. Upaya yang dilakukan adalah menerapkan persyaratan bahwa semen yang digunakan untuk inseminasi buatan (IB) adalah semen berasal dari pusat pusat IB yang bebas dari IBR. Jika menggunakan pejantan unggul, maka pejantan unggul berasal dari pusat-pusat perbibitan yang bebas dari IBR atau bila pejantan berasal dari VBC maka pejantan tersebut telah dibuktikan secara laboratorium bebas dari penyakit IBR. Semua sapi betina bibit telah dibuktikan bebas dari penyakit IBR, atau bibit sapi betina berasal dari pusat-pusat perbibitan yang bebas dari penyakit IBR. Monitoring penyakit dilakukan secara berkala untuk mengetahui adanya dan ternak reaktor dikeluarkan dari kawasan dan tidak digunakan lagi sebagai bibit. perlakuan vaksinasi pada sapi betina bibit dapat dipertimbangkan tergantung pada situasi apakah pergerakan sapi bibit atau pencegahan kontak dengan sapi lainnya milik rakyat dapat dikendalikan. Sapi pejantan tetap tidak divaksin, bila menjadi reaktor maka pejantan dikeluarkan dari kawasan dan tidak digunakan sebagai pemacek. Lalu lintas ternak melewati kawasan diperketat sebagai upaya biosekuriti agen penyakit.
3. Prioritas
terakhir adalah pengendalian penyakit IBR
pada ternak
milik rakyat. Secara umum adalahbdengan penggunaan semen untuk inseminasi
buatan (IB) berasal dari pusat-pusat IB yang bebas dari IBR, atau pejantan
bebas penyakit IBR, serta melakukan vaksinasi rutin. Tahap ini dilaksanakan
setelah dilakukan analisis peluang keberhasilan dan nilai ekonomi. Hal ini
karena untuk kegiatan ini dana yang tidak sedikit, waktu yang panjang serta
tingkat kesulitan yang tinggi terkait situasi dan kondisi sistem peternakan
yang ada, aspek sosial dan budaya masyarakat yang kompleks.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar