Jumat, 26 Februari 2021

Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis ) SMKN1 GUNUNG TULEH PASAMAN BARAT SUMATRA BARAT

Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis )

IBR adalah penyakit hewan yang bersifat menular dan mengganggu sistem reproduksi ternak. Terganggunya sistem reproduksi ternak akibat infeksi penyakit menular sangat merugikan karena dapat mengakibatkan keguguran, penurunan fertilitas, bahkan kemajiran ternak. IBR merupakan penyakit yang sangat infeksius disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1). Gejala klinis akibat penyakit ini seperti infeksi pustular vulvovaginithis pada sapi betina atau balanoposthitis pada sapi jantan, konjungtivitis, ensefalitis dan gejala sistemik lainnya seperti demam dan kelesuan (STRAUB, 1990).

Infeksi pada sapi betina dewasa dapat menyebabkan penurunan produksi susu, menurunnya tingkat fertilitas, dan keguguran (MILLER et al., 1991) Gejala klinis Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit IBR yaitu virus BHV-1, terbagi menjadi 2 subtipe, 
yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. 

Virus BHV-1 subtipe 1 berhubungan dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, sedangkan subtype 2 adalah galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti Infectious Pustular Vulvovaginalis (IPV) dan Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB) (RADOSTIT et al., 2000).

a. Gangguan pernapasan IBR merupakan penyakit pernapasan pada sapi yang secara signifikan merugikan, khususnya bagi usaha perbibitan ternak sapi. Virus masuk ke dalam saluran pernapasan umumnya melalui udara (mengandung partikel air) yang mengandung virus IBR berasal dari hewan penderita. Utamanya, infeksi terjadi pada saluran pernapasan bagian atas, tetapi kadang kadang juga terjadi pada bagian bawah paru-paru. Setelah berinkubasi selama 2 – 3 hari, ternak akan demam yang diikuti dengan peningkatan frekuensi pernapasan, anoreksia, penurunan produksi susu (pada sapi perah), serta menjadi kurus. Dalam jangka waktu satu atau dua hari, terbentuk leleran hidung encer dan hidung tampak kemerahan (GIBBS dan RWEYEMAMU, 1977). Pada tahap berikutnya, leleran hidung yang encer menjadi mukopurulen. Tahap akut ini terjadi sekitar 5 – 10 hari setelah ternak sembuh dari demam. Kejadian klinis yang berat tergantung kepada jenis galur virus yang menginfeksi, status imunologik hewan, keadaan lingkungan, infeksi sekunder dan umur hewan. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan sindrom pernapasan kompleks yang disebut sebagai “demam pengapalan” (shipping fever). Sindrom ini merupakan ciri khas infeksi BHV-1 yang diikuti dengan infeksi sekunder (biasanya bakteri Pasteurella haemolytica) yang mungkin dapat berpotensi menghasilkan pneumonia yang fatal (BABIUK et al., 1988). Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada pedetdan menyebabkan penyakit pernapasan yang ganas atau penyakit sistemik yang fatal dan cepat menimbulkan kematian. Infeksi IBR pada sapi yang baru lahir mungkin disebabkan oleh kekurangan antibody maternal dan komplikasi dengan faktor manajemen (MECHOR et al., 1987). Bila gejala klinis pernapasan pada sapi bunting terus berlanjut, sudah dapat dipastikan sekitar 25% ternak bunting akan mengalami keguguran. Lamanya masa inkubasi pada sapi bunting terjadi keguguran antara 3 – 6 minggu dan paling sering terjadi pada usia kebuntingan 5 dan 8 bulan (MUYLKENS et al., 2007). 

b. Gangguan reproduksi IPV merupakan infeksi vagina dan vulva yang ditandai dengan ekor tidak kembali ke posisi biasa. Kemudian timbul pustula (berdiameter 1 – 2 mm) yang menyebar melalui permukaan mukosa dan kadangkadang disertai oleh leleran mukopurulen. Pustula yang lama, pecah meninggalkan bercak berwarna merah muda yang mengikis lokasi infeksi. Pada IPV, leleran hidung tidak tampak jelas. Penyakit pada tahap akut terjadi antara 2 – 4 hari, dan lesi hilang dengan sendirinya setelah 10 – 14 hari dari saat terjadinya penyakit. Jika infeksi sistemik terjadi pada sapi bunting, maka akan terjadi keguguran (MUYLKENS etal., 2007). 

Pada ternak jantan, penyakit IPB berkembang setelah masa inkubasi 1 – 3 hari yang ditandai dengan lesi pustula yang menyebar pada penis, timbulnya eksudat kecil dan demam. Infeksi pada pejantan dapat menularkan IPB ke sapi lain walaupun tidak terdapat adanya lesi (MUYLKENS et al., 2007). Hal inilah yang menjadi alasan bahwa pejantan pada pusat inseminasi buatan (IB) harus memiliki seronegatif terhadap BHV-1. c. Gangguan syaraf (ensefalitis) Meskipun BHV-1 dapat menyebabkan gangguan pada organ syaraf, ensefalitis jarang sekali terjadi pada sapi. Ensefalitis diperkirakan terjadi sebagai suatuproses lanjutan yang berhubungan dengan pernapasanakut atau pengaktifan kembali virus laten dari gangliatrigeminal dan cenderung mendekati penyebarannya kepusat otak. Berbagai gejala klinis yang dapatditimbulkan setelah terjadinya infeksi olehalphahervesvirus yaitu terjadinya gangguan syaraf dan mengakibatkan infeksi laten yang menetap pada sistemsyaraf tepi inang (PRESTON, 2000). Gejala klinis syaraf ditandai dengan tidak terkoordinasi, berputar-putar,otot gemetar, berbaring, kehilangan keseimbangan, kebutaan, selalu menjilat panggul dan akhirnya mati(ENQUIST et al., 2002). Kasus sporadis BHV-1 yang berhubungan dengan ensefalitis sudah umum terjadi diAustralia dan Argentina. 

Galur BHV-1 yang menunjukkan neuropatogenik yang berpotensi mewakili bvarian antigenik dan dikelompokkan sebagai BHV-5. Gejala klinis lain yang berkaitan dengan BHV-1termasuk kekeruhan pada kornea mata, mastitis, enteritis, dan dermatitis (WYLER et al., 1989). Cara penularan a. Melalui saluran pernafasan Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat mudah dari satu ternak ke ternak lain atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Hal ini disebabkan virus shedding dalam jumlah yang sangat banyak pada saluran pernapasan, mata, dan saluran reproduksi sapi yang terinfeksi. Virus dapat menyebar melalui sekresi hidung atau percikan yang mengandung virus (MARS et al., 2000). Dikarenakan mekanisme penyebaran virus yang demikian, maka kontak langsung antar hewan merupakan risiko transmisi yang sangat tinggi. Pada penggemukan sapi yang penuh sesak, dan bercampurnya ternak satu dengan yang lain mengakibatkan penyebaran virus akan lebih efektif (VAN DONKERSGOED dan BABIUK, 1991). b. Melalui semen Pada hewan jantan yang memperlihatkan balanopostitis atau pada kondisi laten (virus terdedah tanpa ada gejala klinis), maka semen menjadi sumber penularan virus yang sangat potensial. Virus IBR dapat menyebar melalui kawin alam atau kawin buatan melalui IB (WYLER et al., 1989). Penularan penyakit melalui semen sapi pejantan terjadi sebagai berikut, yaitu sapi pejantan akan mulai terinfeksi BHV-1 pada preputium antara 2 dan 7 hari setelah infeksi pertama. Setelah infeksi pertama, virus seringkali sulit untuk diisolasi (HUCK et al., 1971). Namun, sekali-sekali (intermitten) secara spontan dan seringkali terjadi virus shedding. Infeksi laten pada sapi akan mengakibatkan pengeluaran kembali virus apabila ternak tersebut mengalami cekaman, seperti saat transportasi, atau diberi perlakuan kortikosteroid (misalnya: dexamethazone). Dengan cara spontan atau perlakuan buatan akan memicu virus shedding dan seringkali tidak menunjukkan klinis dan virus tersebut dapat terdeteksi untuk waktu yang lama, bahkan dapat mencapai satu tahun setelah infeksi pertama MUYLKENS et al., 2007). Pada umumnya, BHV-1 diekskresikan lebih banyak konsentrasinya pada tahap infeksi pertama dari pada infeksi kedua atau berikutnya yang hanya bersifat putus-sambung. Titer antara 105 – 108,5 Tissue Culture Infective Dose (TCID50) per ml dari bilasan preputium atau semen telah terdeteksi selama fase akut pada kasus infeksi alami maupun buatan (SPILKI et al., 2004). Selama masa pengeluaran kembali virus baik secara spontan maupun melalui rangsangan alami atau perlakuan dengan rangsangan buatan, titer virus sangat bervariasi yaitu titer virus antara 101 dan 105,2 TCID50 per ml asal bilasan praeputium atau semen telah pula dilaporkan (MEDINA et al., 2009). Akan tetapi virus tidak terdeteksi lagi setelah 14 pasca infeksi (SPILKI et al., 2004). Dosis yang diperlukan untuk menginfeksi sapi setelah inokulasi intra-nasal atau intra-vagina dengan menggunakan BHV-1 galur lapang yaitu 3,2 TCID50 (VAN OIRSCHOT, 1995). Virus IBR dalam semen beku (extended semen) yang disimpan pada suhu 4°C akan tahan selama 7 hari, sementara bila semen tersebut disimpan pada suhu ruang akan tahan selama 5 hari. Selanjutnya, DREW et al. (1987) juga melaporkan bahwa virus IBR dalam semen beku tidak akan kehilangan sifat infektivitas setelah dilakukan 5 kali proses pembeku-cairan (freezing-thawing). Penerapan IB yang menggunakan semen terinfeksi BHV-1 akan menyebabkan penurunan angka kelahiran, memperpendek siklus estrus, dan memicu endometritis (VAN ENGELENBURG et al., 1995). DIAGNOSIS PENYAKIT IBR Diagnosis penyakit IBR dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan isolasi dan identifikasi virus dari sampel, uji serologi, pemeriksaan immunoassay, serta pendeteksian genetik material melalui teknik molekuler biologi. a. Isolasi virus Bovine herpesvirus-1 seringkali ditemukan pada mukosa hidung, mata dan preputium pada kasus balanopostitis. Pada kasus balanopostitis, semen BHV-1 selama proses ejakulasi. Hal ini terjadi karena pada sapi yang terinfeksi BHV-1, maka virus akan bereplikasi pada bagian mukosa preputium sapi tersebut. Teknik yang sering digunakan di laboratorium untuk mendiagnosis atau mendeteksi antigen BHV-1 diantaranya yaitu dengan isolasi virus yang ada dalam sampel mukosa hidung, mata atau semen pada kultur sel (DEKA et al., 2005). Sel kultur yang sering digunakan adalah sel MDBK atau sel lain yang rentan terhadap BHV-1. Keberadaan BHV-1 pada kultur sel ditandai dengan efek sitofatik (Cytopathic effect = CPE), virusnya kemudian diidentifikasi/ dikonfirmasikan dengan menggunakan immunofluorescence (KEUSER et al., 2004) atau dengan uji virus neutralisasi (VN) (LEMAIRE et al., 2000). Selanjutnya elektron mikroskop digunakan untuk mendeteksi virus secara morfologi. b. Uji serologi Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus IBR dalam darah/serum hewan. Uji serologi meliputi uji netralisasi serum dan ELISA. Pada uji netralisasi serum, uji ini menggunakan media kultur sel dimana reaksi netralisasi antibodi oleh virus IBR dapat diketahui, yaitu pada sel tidak terjadi efek sitofatik (OIE, 2008). Sementara uji ELISA menggunakan reaksi enzimatik dengan indicator perubahan warna substrat (OIE, 2008). Bila hewan mengandung antibodi terhadap virus IBR sementara hewan tidak pernah divaksin, maka dapat disimpulkan bahwa hewan tersebut telah terinfeksi oleh virus IBR. Namun bila hewan pernah divaksinasi, maka uji ini dapat membedakan antibodi akibat vaksin atau infeksi alam. c. Teknik immunoassay Teknik immunofluorescence telah digunakan untuk mendeteksi BHV-1 dalam sediaan usapan mukosa nasal, bilasan preputium, paru, dan trachea (SILIM dan ELAZHARY, 1983). Kelebihan teknik ini yaitu dapat mendeteksi BHV-1 dengan cepat. Kemudian, teknik imuno elektron mikroskop seringkali digunakan dan merupakan metode yang cepat, akan tetapi diperlukan konsentrasi virus yang tinggi. Sementara, ELISA dengan menggunakan antibody monoklonal telah banyak digunakan untuk mendeteksi BHV-1 (SPILKI et al., 2005; OKAZAKI et al., 2006). Selanjutnya, SMITS et al. (2000) telah membandingkan beberapa metode hibridisasi dengan imuno-elektron mikroskop dan berbagai jenis kultur sel. Hasilnya menunjukkan bahwa isolasi virus ternyata paling sensitif bila dibandingkan dengan metode di atas yaitu dapat mendeteksi 5 TCID50 virus pada semen. d. Teknik molekuler biologi Akhir-akhir ini, diagnostik virologi telah mengalami kemajuan pesat dengan dikembangkan teknik asam nukleat untuk mendeteksi keberadaan virus dalam sampel yang berasal dari hewan, baik yang menunjukkan klinis maupun normal. Hibridisasi asam nukleat dan reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction = PCR) telah dikembangkan sebagai perangkat uji yang sangat ideal dan handal untuk mendeteksi BHV-1 pada sampel karena uji tersebut sangat cepat, sensitif dan spesifik. Teknik PCR telah digunakan untuk mendeteksi secara langsung BHV-1 pada sampel klinis. Pendeteksian DNA BHV-1 gB, gC, dilaporkan (ROLLA et al., 2003; 2005; AFONSO et al., 007; LATA, 2009; MEDINA et al., 2009; MOORE et al., 2000). Pengembangan teknik PCR untuk mendeteksi BHV-1 pertama kali diperkenalkan oleh VILCEK (1993) dengan menggunakan primer berasal dari gen yang menggunakan gB BHV-1. Sementara itu, nested PCR untuk mendeteksi BHV-1 dalam sampel semen cair dan semen beku yang menggunakan target gen gD pertama kali diperkenalkan oleh WIEDMANN et al. (1993), kemudian nested PCR lainnya dikembangkan oleh ROLLA et al. (2003). STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT IBR Berdasarkan informasi dan bukti yang ada, termasuk sifat penyakit dan perkembangan situasi penyakit IBR di Indonesia, maka secara hipotetik strategi pengendalian penyakit IBR pada ternak sapi di Indonesia disarankan untuk dilakukan secara bertahap dan dimulai dari hulu (sumber bibit/benih) yang kemudian sampai ke hilir (peternakan rakyat) serta dengan beberapa prasyarat sebagai berikut: 1. Untuk pengendalian penyakit diperlukan perangkat pendukung, berupa teknik diagnosis (deteksi virus, deteksi antibodi) yang telah dikuasai oleh laboratorium veteriner. 2. Tersedia vaksin IBR tidak aktif dalam jumlah yang cukup sebagai pencegah infeksi pada populasi yang dinamis dan sulit dikendalikan melalui tindakan biosekuriti. 3. Tersedia perangkat lunak berupa peraturan/kebijakan dan petunjuk operasional pengendalian penyakit yang jelas, tegas, aplikatif di lapangan, serta para peternak telah menerima informasi yang cukup tentang penyakit IBR. 4. Tersedia dana yang cukup untuk pelaksanaan program pengendalian penyakit. 5. Strategi pengendalian penyakit dilakukan dari hulu ke hilir secara tuntas dan bertahap sesuai kemampuan pendanaan. Strategi pelaksanaan pengendalian penyakit IBR dilakukan dengan tahapan prioritas sebagai berikut: 1. Prioritas pertama adalah pembebasan penyakit IBR pada sapi di pusat-pusat perbibitan dan inseminasi buatan (IB). Upaya yang dilakukan adalah menerapkan persyaratan bahwa seluruh ternak yang ada di lokasi tersebut harus bebas dari penyakit IBR. Ternak bibit tidak divaksinasi untuk memudahkan pemantauan bila ternak kemudian berubah menjadi reaktor. Penerapan surveilans serologis/pendeteksian agen yang ketat untuk mengetahui sedini mungkin terhadap adanya hewan menjadi reaktor. Hewan yang dinyatakan sebagai maka hewan dikeluarkan dari kawasan dan tidak digunakan lagi sebagai bibit/sumber benih. Penerapan biosekuriti peternakan yang ketat mutlak dilaksanakan terhadap calon sapi bibit yang akan memasuki kawasan. Hanya ternak yang bebas IBR yang diperbolehkan memasuki kawasan dan kemudian menjadi bibit/sumber benih. Biosekuriti juga diterapkan bagi petugas pengelola hewan yang dan yang akan masuk kawasan melalui desinfeksi, penggunaan pakaian kandang, kebersihan diri, dll. Biosekurit juga diterapkan untuk pakan hijauan. Sumber hijauan pakan tidak berasal dari padang rumput dimana digembalakan ternak sapi/kerbau. Biosekuriti termasuk mencegah kontak ternak rakyat dengan kawasan dan ternak di dalamnya. Dengan demikian, lokasi kawasan telah didesain memiliki jarak yang cukup jauh dengan peternakan rakyat. 2. Prioritas kedua adalah pembebasan penyakit IBR Pada sapi bibit di peternakan rakyat/VBC. Upaya yang dilakukan adalah menerapkan persyaratan bahwa semen yang digunakan untuk inseminasi buatan (IB) adalah semen berasal dari pusat pusat IB yang bebas dari IBR. Jika menggunakan pejantan unggul, maka pejantan unggul berasal dari pusat-pusat perbibitan yang bebas dari IBR atau bila pejantan berasal dari VBC maka pejantan tersebut telah dibuktikan secara laboratorium bebas dari penyakit IBR. Semua sapi betina bibit telah dibuktikan bebas dari penyakit IBR, atau bibit sapi betina berasal dari pusat-pusat perbibitan yang bebas dari penyakit IBR. Monitoring penyakit dilakukan secara berkala untuk mengetahui adanya dan ternak reaktor dikeluarkan dari kawasan dan tidak digunakan lagi sebagai bibit. perlakuan vaksinasi pada sapi betina bibit dapat dipertimbangkan tergantung pada situasi apakah pergerakan sapi bibit atau pencegahan kontak dengan sapi lainnya milik rakyat dapat dikendalikan. Sapi pejantan tetap tidak divaksin, bila menjadi reaktor maka pejantan dikeluarkan dari kawasan dan tidak digunakan sebagai pemacek. Lalu lintas ternak melewati kawasan diperketat sebagai upaya biosekuriti agen penyakit. 3. Prioritas terakhir adalah pengendalian penyakit IBR pada ternak milik rakyat. Secara umum adalahbdengan penggunaan semen untuk inseminasi buatan (IB) berasal dari pusat-pusat IB yang bebas dari IBR, atau pejantan bebas penyakit IBR, serta melakukan vaksinasi rutin. Tahap ini dilaksanakan setelah dilakukan analisis peluang keberhasilan dan nilai ekonomi. Hal ini karena untuk kegiatan ini dana yang tidak sedikit, waktu yang panjang serta tingkat kesulitan yang tinggi terkait situasi dan kondisi sistem peternakan yang ada, aspek sosial dan budaya masyarakat yang kompleks. KESIMPULAN Penyakit IBR pada ternak sapi tersebar di seluruh dunia, sangat infeksius, mengakibatkan gangguan pernafasan, reproduksi, dan syaraf yang secara ekonomi merugikan sehingga perlu diwaspadai keberadaannya. Keberadaan penyakit IBR pada ternak sapi di Indonesia telah terbukti, baik pada ternak sapi di pusat-pusat perbibitan dan inseminasi buatan (IB) maupun pada ternak sapi milik rakyat (peternakan rakyat). Oleh karena itu, maka pengendalian penyakit IBR pada tempat-tempat tersebut sudah harus segera dilaksanakan. Pengendalian penyakit dilakukan secara bertahap dengan prioritas pertama pada pusat-pusat perbibitan atau IB, prioritas kedua adalah sapi bibit di peternakan rakyat/VBC, serta prioritas terakhir adalah pada sapi milik rakyat. Pengendalian penyakit pada tahap terakhir ini dilakukan setelah dilakukan kajian yang mendalam meliputi faktor keberhasilan dan nilai . Dukungan teknologi diagnosis (deteksi antibodi dan agen), ketersediaan vaksin, kebijakan/ perangkat lunak/pedoman pengendalian dan peran aktif masyarakat, serta ketersediaan dana yang cukup prasyarat keberhasilan penerapan strategi pengendalian penyakit pada setiap tahapan pengendalian. (Slamet K, drh._Kabid Keswan) Jenis Penyakit Ternak Yang Sering Ditemukan Penyakit Ternak bisa disebabkan oleh banyak hal seperti manajemen perkandangan yang kurang bagus, serangan agen infeksius virus, bakteri, parasit, jamur. Bahkan sekarang ini ditemukan penyakit pada sapi yang disebabkan oleh prion, yaitu sejenis molekul protein yang telah berubah susuan konfigurasinya. Beberapa jenis penyakit ternak diketahui dapat menular ke manusia. Pencegahan terhadap serangan penyakit pada hewan adalah salah satu hal terbaik yang bisa dilakukan. Faktor kebersihan, serta sanitasi kandang memegang peranan utama sebagai penghalau serangan penyakit. Pemberian berbagai pakan ternak dengan komposisi nutrisi yang bagus dan berimbang juga sangat diperlukan untuk menunjang kesehatan ternak. Vaksinasi juga bisa digunakan terhadap berbagai penyakit menular yang memiliki resiko tinggi, baik itu resiko terhadap hewan itu sendiri ataupun resiko menular kepada manusia. 1. Berikut ini Beberapa Jenis Penyakit Pada Ternak: 2. Penyakit karena bakteri 3. Brucellosis 4. Radang Hati Nekrotik Menular 5. Leptospirosis 6. Infeksi Salmonella 7. Penyakit Antraks 8. Penyakit karena virus 9. Penyakit jembrana 10. Penyakit PMK atau yang dikenal dengan nama penyakit mulut dan kuku 11. Demam Tiga Hari ( BEF ) 12. Bovine Viral Diarrhea 13. Penyakit karena Prion 14. BSE atau penyakit sapi gila 15. Scrapie pada domba dan kambing Demikian ulasan singkat tentang berbagai Jenis Penyakit Ternak Yang Sering Ditemukan. Pada kasus dilapangan terdapat banyak sekali penyakit lainnya yang mungkin dapat menyerang ternak. Penyebabnya bisa dari berbagai agen infeksius seperti yang disebutkan di atas, virus, bakteri dan prion atau malah penyakit yang disebabkan oleh berbagai faktor selain hal tersebut. Salah satu contoh penyakit metabolisme dan juga pencernaan yang disebabkan oleh agen non infeksius adalah penyakit sapi karena faktor perubahan pakan. Hal tersebut bisa terjadi karena sistem pencernaan sapi tidak bisa menerima perubahan makanan yang dilakukan secara mendadak. Bila ingin mengganti pakan yang lain dari biasanya, maka perubahan makanan ternak tersebut hendaknya diberikan secara bertahap dan pelan-pelan.

MODUL AGRIBSNIS TERNAK UNGGAS PETELUR

 

XI ATU

 


 

SMK NEGERI 1 GUNUNG TULEH

Jl. Simpang Tigo Alin, Kec. Gunung Tuleh      Email : smkn1.gunungtuleh17@gmail.com



 

                                                                                   

 

u

KATA PENGANTAR

 

          Modul ini dirancang untuk memperkuat kompetensi siswa dari sisi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara utuh. Keutuhan tersebut menjadi dasar dalam perumusan kompetensi dasar tiap mata pelajaran mencakup kompetensi dasar kelompok sikap, kompetensi dasar kelompok pengetahuan, dan kompetensi dasar kelompok keterampilan. Semua mata pelajaran dirancang mengikuti rumusan tersebut.

          Modul pembelajaran ini berisi materi pembelajaran yang membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterapilan dalam menyajikan pengetahuan yang dikuasai secara kongkrit dan abstrak, dan sikap sebagai makhluk yang mensyukuri anugerah alam semesta yang dikaruniakan kepadanya melalui pemanfaatan yang bertanggung jawab. Modul ini menjabarkan usaha minimal yang harus dilakukan siswa untuk mencapai kompetensi yang diharuskan. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam kurikulum, siswa diberanikan untuk mencari dari sumber belajar lain yang tersedia dan terbentang luas di sekitarnya. Peran guru sangat penting dan harus dapat memperkayanya dengan kreasi dalam bentuk kegiatan-kegiatan lain yang sesuai dan relevan yang bersumber dari lingkungan sosial dan alam.

          Modul ini sangat terbuka dan terus dilakukan perbaikan dan penyempurnaan. Untuk itu, saya mengundang para pembaca memberikan kritik, saran, dan masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan. Atas kontribusi tersebut, kami ucapkan terima kasih. Mudah-mudahan kita dapat memberikan yang terbaik bagi kemajuan dunia pendidikan dalam rangka mempersiapkan generasi SMK BISA.....

 

                                                                                    Penulis,

 

 

 

 

                                                                                    Rasyid Fatahillah Harahap

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. 2

DAFTAR ISI................................................................................................................ 3

DAFTAR TABEL........................................................................................................ 4

GLOSARIUM....................................................................................................... ...... 5

I.   Pendahuluan................................................................................................       6

A. Deskripsi.................................................................................................... ...... 7

B. Petunjuk Penggunaan Modul................................................................ ...... 7

C. Tujuan Akhir Pembelajaran.................................................................... ...... 7

E. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar............................................... ...... 8      

F. Cek Kemampuan Awal................................................................................... 8

II. PEMBELAJARAN................................................................................................ 9

Kegiatan Pembelajaran 1........................................................................................ 9

Membuat Laporan Pemberian Pakan Ternak Ruminansia Perah................... 9

A. Deskripsi ............................................................................................................... 9

B. Kegiatan Belajar............................................................................................ 9  1.Tujuan Pembelajaran      .......................................................................................................................... 9

.... 2. Uraian Materi.................................................................................................. 10

.... 3. Refleksi............................................................................................................ 16

.... 4. Tugas. ............................................................................................................. 17

.... 5. Tes Formatif ................................................................................................... 18

C. Penilaian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar tabel

                                                                                                                  Halaman

 

 

1.         Kandungan nutrisi pakan limbah pertanian........................................................ 12

2.         Stanandar pakan masa laktasi.................................................................... 14

3.         Contoh Formula Konsentrat Kualitas Baik............................................... 15

4.         Konsentrat Sederhana (Kualitas Sedang)................................................ 15

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GLOSARIUM

 

Antiseptika             Antiseptik atau germisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan yang hidup seperti pada permukaan kulit dan membran mukosa.

 

Bakteriostatik         Bakteriostatik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu zat yang menghentikan pertumbuhan bakteri (seperti antibiotik).

 

Chopper                  Mesin memotong/ mencacah rumput

 

Desinfektan            Bahan kimia yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi       atau                                   pencemaran oleh jasad renik atau obat untuk

                                 membasmi kuman penyakit. Pengertian lain disinfektan adalah senyawa kimia yang bersifat toksik dan memiliki kemampuan membunuh mikroorganisme.

 

Mikroorganisme    Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme yang berukuran sangat kecil sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantuan.[1] Mikroorganisme disebut juga organisme mikroskopik.[1] Mikroorganisme seringkali bersel tunggal (uniseluler) maupun bersel banyak (multiseluler.

 


I. PENDAHULUAN

 

          Keberhasilan suatu usaha produksi peternakan bergantung kepada faktor genetik, budidaya dan juga pakan, diantaranya meliputi kemampuan teknis peternakan, yang terdiri dari peningkatan kemempuan tatalaksana produksi, tatalaksana pemberian pakan dan tatalaksanapemeliharaan sehari-hari bagi peternak yang mutlak harus dimiliki. Salah satu penyebab kerugian suatu usaha peternakan sapi perah diakibatkan belum dilaksanakannya tatalaksana yang baik dalam usaha sub sektor peternakan tersebut, sehingga berpengaruh lebih lanjut terhadap aspek-aspek lainnya, terutama dapat menghambat peningkatan produksi susu. Sebagia peternak, kenyataannya belum melaksanakan tatalaksana peternakan yang baik atau belum sesuai dengan harapan dalam menjalankan usaha peternaknnya. (Suherman, 2010).

          Penyediaan hijauan yang cukup dan berkualitas tinggi merupakan prioritas utama dalam menunjang keberhasilan suatu usaha peternakan. Pakan yang sempurna mengandung protein, karbohidrat, lemak, air, vitamin dan mineral. Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya peternakan sapi perah adalah pemberian pakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan jenis pakan apa yang tepat diberikan untuk sapi perah. Jenis pakan yang diberikan untuk sapi perah adalah hijauan dan konsentrat. Pakan yang diberikan disesuaikan dengan kelompok umur. Jenis jenis pakan ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi diantaranya rumput, legum, onggok, dedak, shorgum, merupakan sumber energi yang dibutuhkan ternak. Sumber protein meliputi legum, limbah hasil pertanian (bungkil kedelai, bungkil kelapa, ampas tahu). Pemenuhan sumber energi bagi ternak dapat menggunakan garam dapur, kapur, tepung tulang dan mineral mix, sedangkan sebagai sumber vitamin dapat menggunakan jagung kuning, hijauan segar (rumput dan legum),. Hal yang harus diperhatikan ketika memberikan pakan disesuaikan dengan kondisi dan umur ternak.

 

 

 

 

 

A.        DESKRIPSI

           

          Modul agribisnis ternak ruminansia ini mempelajari kompetensi agribisnis ternak ruminansia perah. Modul bahan ajar siswa ini, akan mempelajari tentang bagaimana peternak/Siswa mempelajari dan menyelesaikan bagaimana cara megevaluasi pakan yang sudah diberikan dibandingkan dengan pertambahan bobot badan dan kemempuan sapi tersebut dalam memproduksi susu.

 

B.        PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

 

1.         Bacalah dan pahamilah modul pembelajaran ini secara berurutan dari halaman glosarium sampai penilaian kompetesi dan fahami benar isi dari setiap kompetensi dasar.

2.         Setelah anananda mengisi check kemampuan Awal, anananda termasuk kategori orang yang perlu mempelajari modul pembelajaran ini ? Apabila anananda menjawab YA, maka pelajari modul pembelajaran ini.

3.         Untuk memperdalam ilmu pengetauan, keterampilan dan anananda dalam menguasai kompetensi ini, maka modul pembelajaranini perlu dikombinasikan dengan sumber belajar lainnya. Bila ada yang kurang jelas tanyakan pada  guru pembimbing PKL anananda

4.         Laksanakan semua tugas-tugas/lembar kerja, lembar soal dan lembar penilaian yang ada dalam modul pembelajaran ini agar kompetensi anananda berkembang.

5.         Lakukan kegiatan belajar mulai dari kompetensi dasar ke 1, ke 2 secara berurutan.

6.         Setiap mempelajari satu kompetensi dasar, anananda harus mulai dari menguasai pengetahuan pendukung (uraian materi), melaksanakan tugas-tugas, mengerjakan lembar kerja , lembar soal dan lembar penilaiannya.

7.         Dalam mengerjakan lembar soal, anananda jangan melihat kunci Jawaban terlebih dahulu, sebelum anananda menyelesaikan lembar soal

 

C.        TUJUAN AKHIR PEMBELAJARAN

          Setelah mempelajari modul pembelajaranini, dengan disediakan alat dan bahan serta sarana pendukung lainnya diharapkan siswa dapat :

 

1.         Mengevaluasi pemberian pakan

2.         Mengevaluasi biaya pakan ternak ruminansia perah

 

 

 

D.        KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR

 

KOMPETENSI INTI

KOMPETENSI DASAR

 

1.    Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dalam wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian dalam bidang kerja yang spesifik untuk memecahkan masalah.

 

 

3.9. Mengevaluasi pemberian pakan ternak ruminansia perah

 

3.10.  Mengevaluasi biaya pakan ternak ruminansia perah

 

 

 

 

2.  Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah.

 

 

4.9.Membuat laporan evaluasi pemberian pakan ternak ruminansia perah

 

4.10.Membuat laporan biaya pakan ternak ruminansia perah

 

 

E.        CEK KEMAMPUAN AWAL

Berilah tananda “√” pada kolom “Ya” atau “Tidak” sesuai dengan jawaban ananda!

Ya

Tidak

1.    Apakah ananda mampu mempersiapkan

dan dan membuat laporan pemberian pakan ternak ruminansia perah ternak ruminansia perah dengan baik dan benar?

Ya

Tidak

2.    Apakah ananda mampu mempersiapkan

laporan biaya pakan ternak ruminansia perah

ternak ruminansia perah dengan baik dan

benar?

Ya

Tidak

 

Apabila ananda menjawab “ TIDAK ” pada salah satu pertanyaan di atas pelajarilah modul, tetapi apabila anananda menjawab “ YA ” pada semua pertanyaan, maka lanjutkan dengan menjawab penilaian pada unit modul.

 

 

 

 

 

 


II. PEMBELAJARAN

Kegiatan Pembelajaran .

Mempersiapkan konsep tentang pembuatan laporan evaluasi pemberian pakan dan laporan biaya pakan ternak ruminansia perah. Mengevaluasi pemberian pakan ternak ruminansia perah 65 jp (13 kali tatap muka @5jam) Waktu : 13 x 5JP ( @. 45 Menit).

 

Kompetensi

Jam

Teori

Praktek

Mengevaluasi pemberian pakan ternak ruminansia perah (60 jam) @5 jam @ 12 tatap muka

 

Melakukan pemanenan telur

1

Perhitungan pakan

2

Fungsi pakan

3

Kebutuhan pakan

4

Nutrisi

5

Interval pemberian pakan

6

Jenis –jenis pakan

7

Pakan buatan

8

Golongan pakan buatan

9

Keuntungan pakan buatan

10

Pakan alami

11

Stanandar pakan konsentrat sapi perah laktasi

12

Pakan Lengkap (PL)

   13

 

A.        DESKRIPSI

          Unit ini mencakup beberapa kegiatan yaitu : Mempersiapkan konsep laporan evaluasi pemberian pakan dan laporan biaya pakan ternak ruminansia perah. Serta mempersiapkan alat dan bahan praktek maupun teori.

 

B.        KEGIATAN BELAJAR

 

1.         TUJUAN PEMBELARAN

          Setelah mempelajari modul pembelajaran ini, siswa mampu Mempersiapkan konsep laporan evaluasi pemberian pakan dan laporan biaya pakan ternak ruminansia perah. Serta mempersiapkan alat dan bahan praktek maupun teori.

 

2.         URAIAN MATERI

          Keberhasilan dalam agribisnis ternak ruminansia perah salah satunya ditentukan dengan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan energi metabolisme serata kebutuhan konsentrat sapi perah. Persyaratan secara teknis, yang meliputi tentang :

a. Program Force Molting

b. Perhitungan pakan

c. Fungsi pakan

d. Kebutuhan pakan

e. Nutrisi

f.  Interval pemberian pakan

g. Jenis –jenis pakan

h.Pakan buatan

i.  Golongan pakan buatan

j.   Keuntungan pakan buatan

k. Pakan alami

l.  Stanandar pakan konsentrat sapi perah laktasi

m.   Pakan Lengkap (PL)

MENGAMATI:

Carilah data dan informasi

 

a. Mempersiapkan bahan pakan dan peralatan dalam agribisnis ternak ruminansia perah yang ada di dunia industri lingkungan sekitar sekolah.

b. Pelajari uraian materi berikut ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 


a.         Program Force Molting

           force molting merupakan tindakan merontokkan bulu dengan menghentikan produksi telur yang waktunya diatur oleh manusia. . Harimurti et al. (1979) menyatakan bahwa ditinjau dari segi ekonomi force molting cukup dapat memperpanjang produksi telur, sehingga mampu mendayagunakan ayam petelur yang sudah waktunya memasuki masa afkir. Handayani (1980) menyatakan bahwa force molting dapat menaikkan produksi telur, mempengaruhi konsumsi pakan, dan dalam perhitungan ekonomi lebih menguntungkan. Force molting juga mampu meningkatkan kualitas telur (Hurwitz, 1974). Bila selama perlakuan force molting ayam benar-benar berhenti bertelur, dapat diduga nanti di masa produksi berikutnya, ayam akan bertelur banyak dan ukurannya lebih besar (Rasyaf, 1994). Jika dirangsang proses molting bisa berlangsung kurang lebih 5-9 minggu (Berry, 2003). Hal itu terjadi karena adanya kontrol hormon endokrin di dalam tubuh unggas. Meskipun kejadian molting secara umum diketahui terjadi akibat hormon thyroid, namun belum ada mekanisme yang bisa menjelaskannya. (Setioko, 2005). Perontokan bulu terjadi setelah masa produktif ayam petelur berakhir, yaitu ketika umur ayam sudah mencapai kurang lebih 75 minggu. Proses molting ditandai dengan terjadinya kerontokan bulu, mulai dari bulu daerah kepala, leher, dada, punggung, sayap, hingga bulu pada bagian ekor.

          Proses molting memberikan masa istirahat bagi saluran reproduksi ayam petelur dari aktivitas reproduksi. Hal itu bertujuan agar ayam dapat menyimpan cadangan energi.   Pada umumnya, proses molting secara alami dapat berlangsung sekitar 4 bulan. Hal tersebut tentu akan memperlama waktu produksi suatu peternakan. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuatlah suatu metode untuk mempercepat proses perontokan bulu yang disebut dengan ‘force molting’.   Sehingga, ayam dapat menghasilkan telur kembali dengan kualitas dan kuantitas yang bahkan melebihi masa produktif sebelumnya. Namun, hal itu hanya berlangsung sekitar 6 bulan. Selanjutnya, ayam petelur harus tetap diafkir untuk dijual di pasaran. Kemudian digantikan dengan bibit (DOC) baru.

b.        Defenisi Force Molting

          Force molting ayam merupakan suatu proses mempercepat perontokan bulu (molting). Biasanya proses force molting diterapkan pada ayam petelur untuk mengoptimalkan produksi yang sedang berlangsung.Dalam pr oses molting, terdapat dua kejadian. Yaitu proses rontoknya bulu (ecdesis) dan tumbuhnya bulu baru (endesis). Proses Force molting digunakan peternak untuk meningkatkan kembali produktifitas ayam petelur di luar masa produksi sesungguhnya. Bahkan beberapa penelitian mengemukakan bahwa telur hasil ayam force molting memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih bagus. (Wijayanti, 2019) menyebutkan bahwa perlakuan force molting ayam dapat meningkatkan produksi telur tetas pada ayam petelur.

 

c.         Tujuan Force Molting

          Dalam satu kali umur produksi (hen house), satu ekor ayam petelur mampu menghasilkan kurang lebih 250 butir telur. Padahal, dalam satu ekor ayam petelur terdapat sekitar 3000 ovum. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak ovum yang tidak berkembang menjadi telur. Hal tersebut dimanfaatkan oleh peternak untuk tetap menggunakan ayam petelur di peternakannya, dengan syarat dilakukannya force molting.

 

Berikut adalah beberapa tujuan dilakukannya force molting ayam petelur :

  • Peternakan belum menyiapkan ayam petelur baru untuk proses produksi selanjutnya
  • Harga jual ayam afkir rendah
  • Harga telur masih stabil
  • Kesulitan mendapatkan Day Old Chick (DOC) dan harganya mahal.

 

d.        Metode Force Molting

          Terdapat dua cara yang dapat dilakukan dalam proses force molting ayam, yaitu secara konvensional dan non konvensional. Proses force molting ayam secara konvensional dilakukan dengan melakukan pembatasan pakan dan minum. Namun, di Indonesia hanya dilakukan pembatasan pakan saja, karena iklimnya yang tropis.

            Sedangkan proses froce molting secara non konvensional dilakukan dengan menggunakan obat-obatan tertentu. Dalam proses force molting ayam secara konvensional, terdapat tiga metode yang bisa diterapkan. Yaitu metode konvensionalWashingtonMaxcindoe dan Milo (California Program).

 

Berikut adalah berbagai metode force molting ayam dalam bentuk tabel :

1.        Metode Konvensional

        Pada metode konvensional, proses force molting ayam dilakukan dengan pemuasaan dari makan dan minum. Selain itu, pada hari ke 1 hingga hari ke 3 dilakukan pembatasan pencahayaan. Yaitu hanya 8 jam per hari. Perhatikan program force molting ayam dengan metode konvensional berikut ini 

 

2. Metode Macxindoe

Pada metode Macxindoe, proses force molting ayam menggunakan kombinasi daun lamtoro. Karena, daun lamtoro memiliki kandungan mimosin yang dapat mempercepat proses molting pada ayam petelur. Setelah 6 minggu dari hari ke-26, produksi telur dapat berlangsung kembali. Berikut adalah program force molting ayam dengan metode Macxindoe :

 

 

 

 

 

3.        Metode Milo

          Pada metode Milo, proses force molting ayam menggunakan pakan berupa jagung atau gandum saja dalam waktu yang lama. Metode Milo merupakan metode force molting ayam yang cocok digunakan di wilayah dengan iklim tropis seperti Indonesia. Selama tahap awal, pencahayaan dibatasi 8 jam per hari. Kemudian pada hari ke 61 hingga hari ke 68 dilakukan penambahan pencahayaan sekitar 3 jam sampai 4 jam. Sehingga lamanya pencahayaan dalam sehari antara 14-16 jam.

 

Berikut adalah tabel program force molting ayam dengan metode Milo :

 

4.     Metode Washington

          Pada metode Washington, proses force molting ayam dilakukan dengan membatasi pakan perhari. Yaitu hanya 2,7 kg/100 ekor/hari. Kemudian pada hari ke 50 dilakukan penambahan pencahayaan sekitar 3 jam sampai 4 jam. Sehingga lamanya pencahayaan dalam sehari antara 14-16 jam.

Berikut adalah tabel dari program force molting ayam metode Washington 

          Force molting ayam merupakan tidakan yang dapat dipilih dalam suatu usaha peternakan untuk memaksimalkan pendapatan yang masuk.Meskipun demikian, proses force molting ayam harus dilakukan secara hati-hati. Karena beberapa ayam dapat stress dan berujung dengan kematian. Oleh karena itu, monitoring (pemantauan) harus dilakukan dengan benar agar hasil dari proses force molting sesuai harapan

E.        Rontok bulu secara paksa (Force Molting) dan manfaatnya

          Proses molting pada ayam petelur yang tidak teratur dan berkepanjangan ikut mempengaruhi produksi telur, sehingga peternak bisa merugi. Tetapi ada manfaat penting molting, dimana masa berproduksi dapat diperpanjang sehingga peremajaan dapat ditunda untuk beberapa waktu sehingga dapat meningkatkan kualitas (berat, ukuran, ketebalan, warna kuning telur) dan kuantitas (hen day production).

          Besarnya manfaat yang diperolah dari molting, memicu para ahli perunggasan melakukan penelitian guna mencari cara yang tepat untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Usaha yang dilakukan lebih banyak berfokus untuk mempersingkat waktu yang diperlukan pada satu periode molting dan mengupayakan produksi yang maksimal selama proses molting berlangsung. Usaha yang dilakukan para ahli unggas kemudian banyak dipraktekan praktisi dan peternak unggas dan dikenal dengan istilah force molting atau rontok bulu secara paksa.

          Usaha yang dilakukan pada force molting yaitu dengan cara memberikan rangsangan secara buatan terhadap ayam petelur tua – babon, sehingga terpaksa mengalami molting. Proses ini dilakukan dengan cara memberikan masa istirahat bagi babon tua setelah masa puncak produksi, kemudian dapat meneruskan produksi telur pada siklus berikutnya. Tiga cara yang dapat dilakukan untuk perontokan bulu secara paksa antara lain:

F.      Air minum

          Pembatasan air, dimaksud untuk menibulkan stress akibat kekurangan air. Air yang biasanya diberikan secara adlibitum, dibatasi jumlahnya pada hari pertama dan kedua, kemudian dipulihkan lagi dua hari kemudian. Akibat negative yang dapat terjadi pada musim panas atau kemarau yang berkepanjangan yaitu ayam mudah mengalami dehidrasi yang berujung pada kematiannya.

 

G.     Pakan

          Pembatasan pakan, yaitu dengan cara membatasi pakan yang diberikan selama beberapa hari, dan pakan yang diberikan dalam bentuk biji-bijian. Ini sangat disarankan dan force molting yang dihasilkan akan sempurna. Pengurangan cahaya atau sinar, yaitu membatasi cahaya yang dihasilkan dari lampu dan hanya menggunakan cahaya matahari atau penerangan alami. Jika dilihat menurut kondisi iklim kita di tanah air, maka cara pembatasan pakan adalah yang paling memungkinkan diterapkan untuk program rontok bulu paksa karena pelaksanaannya relatif lebih mudah. Hal yang perlu diperhatikan agar program ini dapat berlangsung dengan baik yaitu ayam petelur yang mendapat perlakuan ini harus dalam kondisi yang prima. Dengan kondisi kesehatan yang baik dipastikan ayam yang mengalami rontok bulu secara paksa akan berproduksi dengan baik.

            Pelaksanaan force molting ini biasanya dilakukan setelah bulan ke-12 sampai 14 masa produksi. Terkadang program ini dilakukan pada umur produksi 8-10, karena harga telur di waktu mendatang diramalkan baik. Beberapa metode force molting sebagai referensi menurut North (1972) adalah sebagai berikut:

1.         Ayam dipuasakan dari pakan selama 10 hari tanpa pembatasan air minum. Hari ke-11 baru diberikan ransum ayam petelur

2.         Ayam dipuasakan selama 7 hari, 2 hari tidak diberikan air minum, kemudian hari ke -8 diberikan ransum ayam petelur

3.         Ayam dipuasakan selama 10 hari, air minum tidak dibatasi, hari ke-11 sampai dengan 24 diberikan ransum protein rendah, dan pada hari ke -25 diberikan ransum ayam petelur.

4.         Ayam puasa makan selama 10 hari dengan pembatasan air minum pada 4 hari pertama. Ransum tingkat protein rendah diberikan pada hari ke -11 sampai dengan 24, setelah itu baru diberikan ransum ayam petelur.

Dari empat metode yang ditawarkan ini, berdasarkan kajian yang dilakukan, metode nomor dua memberikan hasil yang paling maksimal.

            Dari berbagai pengalaman pelaksanaan rontok bulu secara paksa, adalah peningkatan produksi telur secara cepat. Force molting menghilangkan sejumlah lemak tubuh ayam petelur, dan setelah force molting ransum yang diberikan dalam jumlah cukup secara kualitas dan kuantitas akan meningkatkan produksi telur. Selain itu setelah beristirahat bertelur, ayam diberikan kesempatan bertelur setelah force molting secara lebih baik.

          Secara garis besar, dua keuntungan penting dari program rontok bulu secara paksa adalah:

H.        Keuntungan Ekonomi;

          Force molting ikut menekan pembiayaan dan memperpanjang masa produksi. Ayam petelur biasanya diafkir pada pada produksinya mencapai 12 bulan atau akhir masa produksi pertama. Hal ini disebabkan pada masa produksi berikutnya produksi telur akan turun sangat menyolok, sehingga jika dipelihara terus, peternak akan merugi. Dengan modal tambahan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan membesarkan kuri menjadi ayam dara yang siap bertelur, aplikasi force molting atau rontok bulu secara paksa mampu membuat ayam petelur tua awet memproduksikan telurnya mendekati produktivitas ayam dara.

 

I.          Keuntungan lainnya 

          Keuntungan lainnya adalah jika dibanding molting yang normal, perlakuan force molting mampu mengembalikan produktivitas ayam petelur tua setara dengan ayam dara. Artinya bahwa pelaksanaan peremajaan ayam diperpanjang dan dari hasil penelitian ternyata bahwa di Indonesia ayam petelur tetap awet muda dengan perlakuan rontok bulu paksa hingga 17 bulan. Keuntungan lain yang diperolah adalah periode non-produktif akibat molting 8-12 minggu dapat dipersingkat dengan force molting menjadi sekitar 3-4 minggu. Ayam yang mengalami rontok bulu secara paksa sudah berusia lanjut dan mempunyai daya tahan terhadap penyakit yang lebih baik dibanding ayam dara, sehingga resiko kematiannya sangat rendah. Ini menguntungkan peternak karena dapat mengurangi perhatian dan peternak dapat melakukan aktivitas lainnya.

J.         Siklus Force Molting

             Sebagian peternak pasti sudah paham bahwa molting merupakan proses alamiah rontok bulu yang memang biasa terjadi pada ayam petelur yang telah berproduksi cukup lama (± 90 minggu) dan berlangsung selama ± 4 bulan bahkan bisa lebih singkat. Fenomena rontok bulu atau molting biasa terjadi pada ayam yang telah berumur tua dengan produksi telur harian sudah di bawah 60%. Bisa juga terjadi pada ayam muda terutama saat ayam mengalami stres berat. Kasus rontok bulu yang cepat pada seluruh populasi atau segala umur biasanya merupakan gejala bahwa telah terjadi sesuatu yang serius (misalnya: kekurangan air minum atau sangat kedinginan).

          Molting adalah proses fisiologi pada unggas yang dipengaruhi oleh perubahan kadar hormon prolaktin, gonadotropin, tiroksin, dan hormon steroid ovarium (Berry, 2003). Rontok secara alami terjadi pada akhir periode bertelur yang disebabkan tingginya hormon prolaktin pada tubuh ayam. Proses rontok pada ayam terjadi dengan pola tertentu. Urutan rontoknya dimulai dari bulu kepala, leher, dada, punggung, sayap, dan ekor. Rontok sayap tidak terjadi secara bersamaan. Bulu yang pertama kali rontok adalah bulu primer yang berdekatan dengan bulu aksial. Selanjutnya bulu rontok sesuai dengan urutannya (Suprijatna et al., 2005).

          Prinsip utama molting adalah memberikan masa istirahat bertelur bagi ayam umur dewasa. Agar ayam bisa beristirahat, maka kita perlu memberikan “cekaman” pada ayam, barulah produksi telur terhenti dan alat-alat reproduksinya akan mengalami “perbaikan”. Cekaman atau tekanan yang dimaksud diantaranya dengan mengurangi jumlah ransum secara bertahap, memuasakan ayam tanpa diberi ransum sama sekali selama beberapa waktu, atau mengubah susunan formulasi ransum. Namun, dari beberapa metode tersebut, yang paling sering dilakukan di lapangan adalah metode kedua yaitu memuasakan ayam. Inilah yang biasa dilakukan peternak dan disebut dengan istilah force molting.

          Karena dipuasakan, ayam akan membongkar cadangan makanannya selama seminggu, mendegradasi lemak abdominal yang dimanfaatkan untuk sumber energi. Hal terpenting dalam proses molting ini adalah menstimulir berperannya hormon prolaktin dalam menghambat sementara hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sehingga proses pembentukan sebutir telur terhenti sementara waktu. Setelah 30 hari atau 60 hari perlakuan molting ini lalu diberikan jatah pakan dan air minum serta rangsangan cahaya seperti biasa, dan kedua hormon tersebut akan kembali beraktivitas seakan-akan menjadi ayam petelur muda.

          Setelah molting akan terjadi peningkatan produksi telur, disebabkan adanya perbaikan fungsi ovarium oleh sel atau jaringan baru (Barua et al., 2001). Razak (2010) melaporkan bahwa terjadi peningkatan telur yang cukup signifikan pada ayam petelur afkir setelah dilakukan program molting menggunakan metode pemuasaan atau pembatasan pakan.

K.        Nutrisi Fase Force Molting

             Kondisi kekurangan nutrien pada ayam yang mendapatkan perlakuan force molting dengan puasa pakan total dan pembatasan pakan akan menyebabkan proses peneluran berhenti selama 4 minggu. Hal ini terjadi akibat kurangnya konsumsi energi dan nutrien lain sehingga proses pembentukan telur terganggu (Yunanto et al., 1998). Pada saat istirahat produksi terjadi refreshing dan perbaikan organ reproduksi (Rasyaf, 1994) sehingga mampu menaikkan kembali produksi telur pasca force molting.

          Produksi telur ayam akan menurun sampai dengan 0% pada saat perlakuan force molting. Pada minggu ke 7, ketika pakan diberikan normal kembali maka produksi telur mulai ada peningkatan. Mulai minggu ke 8 terjadi peningkatan produksi yang sangat cepat sampai dengan tercapainya puncak produksi pada minggu ke 10. Pada minggu-minggu berikutnya produksi telur sedikit demi sedikit menurun hingga pada minggu ke 16 produksi berada pada tingkat 69%. Pada ayam petelur afkir yang tidak diberi perlakuan force molting, produksi telur harian cenderung konstan pada kisaran 48-68% dengan rata-rata 59,4% (Mulyono, 2008).

 

L.        Waktu Force Molting

          Telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses molting pada tubuh ayam terjadi secara berurutan. Namun proses molting yang tidak sama antara ayam yang satu dengan yang lainnya dalam satu kelompok ayam menyebabkan produksi telur harian (hen day) menjadi tidak seragam. Untuk membuat ayam molting secara bersamaan maka dilakukan force molting. Ayam akan bertelur kembali dan karena proses mulai bertelurnya bersamaan maka diharapkan terjadi puncak produksi ke-2 dengan persentase hen day cukup optimal dan menguntungkan peternak.

          Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajak (2010), force molting dengan menggunakan metode puasa makan selama 10 hari (ayam tetap diberi minum), kemudian dilanjutkan hari ke-11 sampai ke-30 ayam diberikan ransum komplit 25% atau jagung saja 50% dari konsumsi normal, hasilnya cukup memuaskan. Pada penelitian ini dicapai puncak produksi sampai 86% dengan rataan produksi telur mencapai 68,20%.

          Untuk kondisi Indonesia dengan iklim tropis, mungkin perlu dimodifikasi dalam pemberian air minum meskipun ayam mengalami puasa makan. Pada metode california molting program, ayam yang mati akan lebih banyak karena ayam dipuasakan dalam waktu 10 hari. Akan tetapi, produksi telur berikutnya akan lebih baik sebab ayam lebih lama tidak bertelur.

             Ayam layer memiliki siklus produksi yang khas biasanya mulai bertelur di umur 18-20 minggu dan mengalami puncak produksi hingga kurang lebih mencapai umur 80-90 minggu (ISA Layer Commercial Manual Guide, 2017) . Pada umur tersebut peternak bisa mengambil keputusan apakah ayam layer yang dipeliharanya akan diafkir atau dilakukan program force molting. Sebenarnya lazimnya force molting atau molting yang dipercepat sudah tidak dianjurkan lagi untuk dilakukan, sebab dengan adanya kemajuan genetik layer modern saat ini ayam sudah mampu berproduksi dengan performa produksi yang bagus. Dengan kemajuan genetik, untuk stabilisasi berat telur di angka maksimum rata-rata 64-65 gram membuat kualitas kerabang telur tetap terjaga, walaupun dipelihara sampai 90 bahkan 100 minggu. Tren di dunia pun semakin turun untuk melakukan force molting dikarenakan di berbagai negara sudah dilarang terkait aturan kesejahteraan hewan (animal welfare). Artinya force molting dilakukan apabila benar-benar dalam situasi darurat atau terpaksa dan sesuai dengan aturan yang berlaku di suatu negara terkait aturan animal welfare. Memang perlakuan ini harus dilakukan secara disiplin. Kelalaian sedikit saja akan mengakibatkan kerugian hingga bahkan menyebabkan kematian. Demikian pula kondisi ayam harus benar-benar sehat sebelum dilakukan molting serta kualitas pakan yang diberikan tetap dipertahankan seperti biasa.

 

M.       Kelebihan dan Kekurangan Forfe Molting

          Proses force molting yang dilakukan pada ayam petelur yang sudah tua memang memiliki beberapa efek positif, di antaranya:

v   Setelah force molting, yaitu ketika bulu baru sudah tumbuh, ayam akan kembali bertelur meski jumlah produksinya tidak setinggi masa bertelur normal. Peningkatan produksi telur biasanya bervariasi sekitar 10-30% dibandingkan jika tidak dilakukan force molting, tergantung status kesehatan dan tingkat cekaman stres yang dialami ayam. Untuk gambaran saja, sebelum force molting selama satu periode yaitu dari umur 20-80 minggu, satu ekor ayam rata-rata bisa menghasilkan 20 kg telur. Sedangkan setelah force molting, ayam hanya mampu memproduksi 11-12 kg telur. Selain itu, ayam yang telah mengalami force molting masa produksinya lebih singkat. Normalnya produksi dimulai dari umur 20 minggu sampai afkir artinya bisa berproduksi selama 60-70 minggu, tetapi setelah proses force molting biasanya ayam akan sanggup berproduksi sekitar 25-30 minggu, kemudian baru diafkir. Proses force molting ini hanya dilakukan satu kali.

v   Kualitas telur lebih baik, Kualitas telur yang dihasilkan akan lebih baik, di mana ukuran telur bisa lebih besar/berat dari normal dan warna kerabang lebih baik. Menurut penelitian Widodo (2008), dilaporkan bahwa program force molting memberikan hasil yang memuaskan terhadap kualitas telur. Kerabang telur menjadi coklat kembali dan kualitas kerabang lebih tebal.

v   Feed Intake, Walaupun memiliki efek positif namun apabila tidak dilaksanakan dengan tepat dan optimal akan menimbulkan efek negatif dari proses force molting tersebut diantaranya sebagai berikut: – Program ini adalah kondisi dimana ayam akan sengaja dibuat mengalami stres. Sehingga tidak menjamin semua ayam bisa melakukan force molting. – Selama force molting akan terjadi penurunan produksi telur secara drastis atau ayam berhenti bertelur sama sekali, serta terjadi penurunan bobot badan. – Program force molting ini bisa memicu tingkah laku abnormal ayam seperti mematuk-matuk bahkan kanibalisme.Apabila kondisi ayam tidak siap untuk diberikan perlakuan force molting, bisa mengalami kematian karena kondisi tubuh yang lemah. – Program ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar jadi memang harus diperhitungkan sesuai kebutuhan dan kondisi pasar. – Adanya biaya tambahan seperti dari biaya pakan, desinfektan, serta persiapan obat-obatan tambahan. – Resiko terinfeksi penyakit hingga kematian

 

N.        Persiapan dan Penanganan yang Matang

          Dalam melakukan program ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar efek negatifnya bisa diminimalisir, antara lain:

1. Sebelum force molting

a. Ayam harus dipastikan sehat. Jika ada ayam yang tidak sehat, maka harus diafkir (dijual) karena ayam bisa mati ketika force molting dijalankan. Cek status kesehatan ayam dengan melakukan uji titer antibodi di laboratorium. Lebih baik lagi jika sebelumnya ayam telah mendapatkan program vaksinasi sesuai aturan.

b. Sebelum melakukan force molting, sebaiknya peternak melakukan seleksi berat badan ideal ayam. Standar bobot badan ayam yang akan di-force molting harus berkisar 1,9-2 kg dengan usia berkisar 90 minggu atau lebih. Yang perlu diingat adalah 2-3 hari sebelum molting dan selama produki telur masih ada tetap diberikan penambahan kalsium seperti Oyster shells atau sumber lain 4-6 gram per ekor agar tidak kekurangan kalsium pada tulang

c. Ciptakan kondisi Iingkungan kandang yang nyaman dan bersih, pengaturan suhu kandang yang terprogram, dan pengaturan penyinaran cahaya.

d. Tingkatkan biosekuriti. Saat molting biasanya ayam menjadi sangat lemah dan tingkat stresnya tinggi sehingga rentan terserang penyakit. Oleh karenanya jadwal pembersihan dan desinfeksi sebaiknya ditingkatkan juga. Begitu juga desinfeksi kandang. Saat ada ayam pilih desinfektan yang aman, seperti AntisepNeo Antisep atau Medisep. 2. Selama force molting.

e. Vaksinasi yang terprogram dengan baik tidak akan memberikan hasil pencegahan penyakit yang optimal jika tidak didukung dengan pelaksanaan biosekuriti yang ketat selama program. Oleh karena itu, tingkatkan biosekuriti khususnya pada orang, peralatan, dan kendaraan yang berpindah-pindah seperti tim vaksinator, mobil ayam afkir, kotak telur dll.

 

 

4.     Refleksi

Setelah Ananda mempelajari materi mempersiapkan kanandang dan peralatan dalam agribisnis ternak ruminansia perah yang mencakup Persyaratan kanandang, bangunan kanandang dan layout/tata letak, konstruksi kanandang, kebutuhan kanandang dan jumlah peralatan jenis-jenis peralatan dan sarana pendukung kanandang, inventarisasi kebutuhan kanandang dan peralatan, bahan-bahan untuk sanitasi kanandang, kebutuhan, dosis dan procedure sanitasi harap jawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut

 

a.    Pertanyaan:

 

Hal-hal apa saja yang dapat ananda lakukan tekait dengan materi evaluasi pemberian pakan dalam agribisnis ternak ruminansia perah?

 

Jawaban:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

b.    Pertanyaan:

 

Aspek menarik apa saja yang Ananda temukan dalam materi evaluasi pemberian pakan dalam agribisnis ternak ruminansia perah ?

 

Jawaban:

 

 

 

 

 

 

 

 

c.    Pertanyaan:

 

Manfaat apa saja yang ananda peroleh dari materi evaluasi pemberian pakan dalam agribisnis ternak ruminansia perah ?

 

Jawaban:

 

 

 

 

 

 

 

 

d.    Pertanyaan:

 

Manfaat apa saja yang ananda peroleh dari materi evaluasi pemberian pakan dalam agribisnis ternak ruminansia perah ?

 

Jawaban:

 

 

 

 

 

 

 

5.         TUGAS

 

Pilihlah salah satu tugas di bawah ini

a.    Buatlah suatu makalah tentang evaluasi pemberian pakan untuk kegiatan pemerahan sapi !

 

b.    Buatlah suatu makalah tentang evaluasi pemberian pakan untuk kegiatan pemerahan kerbau !

 

c.    Buatlah suatu makalah tentang evaluasi pemberian pakan untuk kegiatan pemerahan kambing !

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6.         Tes Formatif

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan singkat dan jelas !

 

1.         Jenis bahan pakan apa saja yang diperlukan untuk meningkatkan produksi susu?

 

2.         Jenis limbah peternakan apa saja yang diperlukan untuk proses pembuatan konsentrat sapi pada masa laktasi?

 

C.      Penilaian

 

1. Sikap

Anda diminta untuk melakukan penilaian diri. Penilaian ini dilakukan cara sebagai berikut :

 

a. Bacalah pernyataan yang ada di dalam kolom dengan teliti

b. berilah tanda cek (√) sesuai dengan sesuai dengan kondisi dan keadaan kalian sehari-hari

 

a.  SIKAP SPRITUAL

NO

ASPEK PENGAMATAN

SKOR

1

2

3

4

1

Berdoa sebelum dan sesudah melakukan sesuatu

 

 

 

 

2

Mengucapkan rasa syukur atas karunia Tuhan

 

 

 

 

3

Memberi salam sebelum dan sesudah menyampaikan pendapat/presentasi

 

 

 

 

4

Mengungkapkan kekaguman secara lisan maupun tulisan terhadap Tuhan saat melihat kebesaran Tuhan

 

 

 

 

5

Merasakan keberadaan dan kebesaran Tuhan saat mempelajari ilmu pengetahuan

 

 

 

 

Jumlah Skor

 

 

 

 

 

Keterangan :

1.         Tidak pernah, apabila tidak pernah melakukan

2.         Kadang-kadang, apabila kadang-kadang melakukan dan sering tidak melakukan

3.         Sering, apabila sering melakukan sesuai pernyataan dan kadang-kadang tidak melakukan

4.         Selalu, apabila selalu melakukan sesuai pernyataan

 

 

b.             Sikap Jujur

 

NO

Aspek Pengamatan

SKOR

1

2

3

4

1

Tidak nyontek dalam mengerjakan ujian/ulangan/tugas

 

 

 

 

2

Tidak melakukan plagiat (mengambil/menyalin karya orang lain tanpa menyebutkan sumber) dalam mengerjakan setiap tugas

 

 

 

 

3

Mengungkapkan perasaan terhadap sesuatu apa adanya

 

 

 

 

4

Melaporkan data atau informasi apa adanya

 

 

 

 

5

Mengakui kesalahan atau kekurangan yang dimiliki

 

 

 

 

Jumlah Skor

 

 

 

 

 

Keterangan :

1.         Tidak pernah, apabila tidak pernah melakukan

2.         Kadang-kadang, apabila kadang-kadang melakukan dan sering tidak melakukan

3.         Sering, apabila sering melakukan sesuai pernyataan dan kadang-kadang tidak melakukan

4.         Selalu, apabila selalu melakukan sesuai pernyataan

 

c.              Sikap Disiplin

NO

Sikap yang diamati

Melakukan

YA

Tidak

1

Masuk tempat PKL tepat waktu

 

 

2

Mengumpulkan tugas tepat waktu disekolah

 

 

3

Memakai seragam sesuai tata tertib ditempat PKL

 

 

4

Mengerjakan tugas yang diberikan ditempat PKL

 

 

5

Tertib dalam mengikuti kegiatan di tempat PKL

 

 

 

2.        Pengetahauan

Jawablah pernyataan di bawah ini dengan singkat dan jelas !

1.              Jelaskan syarat kandang, bangunan kandang dan layout/tata letak kandang, konstruksi kandang , kebutuhan kandang dan jumlah peralatan untuk terak ruminansia perah.

2.              Jenis peralatan apa saja yang diperlukan untuk kegiatan pemerahan ternak sapi, kerbau, ternak atau kambing !

3.              Sarana pendukung kandang apa saja yang diperlukan untuk kegiatan pemerahan ternak ruminansia perah agar hasilnya dapat maksimal

4.              Jenis peralatan kesehatan apa saja yang diperlukan untuk proses pemelihara atau kegiatan pemerahan ternak ruminansia !

5.              Menurut pendapat Anda apakah peralatan sarana pendukung kandang seperti timbangan untuk ternak dan mixer harus diadakan oleh peternak/pengelola ternak ? berilah alasannya.

 

3.              Keterampilan

Lakukan kegiatan persiapan kandang dan peralatan untuk kegiatan agribisnis ternak ruminansia perah dengan kriteria sebagai berikut:

 

NO

Kriteria ( 100%)

YA

Tidak

1

Syarat kandang, bangunan kandang dan layout/tata letak kandang, konstruksi kandang , kebutuhan kandang dan jumlah peralatan untuk terak ruminansia perah

 

 

2

Menetukan jenis-jenis peralatan dan sarana pendukung kandang dalam agribisnis ternak ruminansia perah

 

 

3

Menginventarisasi kebutuhan kandang dan peralatan untuk usaha agribisnis ternak ruminansia perah

 

 

4

Menentukan bahan - bahan untuk sanitasi kandang dan peralatan

 

 

5

Menentukan kebutuhan dosis bahan untuk sanitasi dan prosedur sanitasi

 

 

6

Melakukan sanitasi kandang dan peralatan agribisnis ternak ruminansia perah

 

 

 

soal ternak unggas petelur SMK

  PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI 1 GUNUNG TULEH J...